Catatan Perjalanan :

Keliling Setengah Amerika

 

9.   Mengunjungi Musium Smithsonian

 

Siang hari setelah keluar dari Gedung Putih, masih di hari Selasa, 4 Juli 2000, kami berjalan kembali menuju tempat parkir kendaraan yang agak jauh. Di depan Gedung Putih ada taman atau alun-alun yang disebut Lafayette Square, dan kami berjalan memutari alun-alun ini tidak sebagaimana ketika datang langsung memotong di bagian tengahnya karena memburu waktu.

 

Dari Gedung Putih kami langsung menuju ke kompleks musium Institut Smithsonian yang membentang di sebelah utara dan selatan jalur lapangan rumput sepanjang lebih 1,5 km antara jalan 1st Street di sebelah timur dan 14th Street di sebelah barat. Di kedua ujung lapangan rumput ini berdiri megah Gedung Capitol di ujung timur dan Monumen Washington di ujung barat. Di pinggiran jalur hijau ini ditumbuhi banyak pepohonan pelindung sehingga terkesan teduh dan berhawa menyegarkan.

 

Bangunan-bangunan di kompleks Institut Smithsonian yang umumnya berupa bangunan kuno yang masih megah dan kokoh ini antara lain terdapat National Museum of Natural History, National Museum of American History, National History of Art, National Museum of African Art, Arthur M. Sackler Gallery, Freer Gallery of Art, Arts and Industries Building, Hirshhorn Museum and Sculpture Garden, National Air and Space Museum, National Archives, National Postal Museum, Anacostia Museum, dsb.

 

Masih ada dua musium lainnya yang berlokasi di kota New York, yaitu Cooper-Hewitt, National Design Museum dan National Museum of the American Indian’s George Gustav Heye Center. Untuk memasuki museum-museum yang berada di Washington DC tidak dikenakan biaya, hanya National Design Museum yang berada di New York saja yang mengenakan ongkos masuk.

 

Institut Smithsonian berdiri pada tanggal 10 Agustus 1846. Smithsonian berasal dari nama seorang ilmuwan Inggris James Smithson yang sangat berjasa dalam upayanya untuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi masyarakat Amerika masa itu, dan bahkan hingga kini. Dalam perkembangannya kini Institut ini telah banyak dimanfaatkan oleh para peneliti dan ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu serta telah menghimpun lebih dari 140 juta benda-benda sejarah, contoh-contoh temuan ilmiah, karya-karya seni, dsb. 

 

Di antara 14 musium di kompleks Institut Smithsonian ini, National Museum of Natural History adalah yang paling banyak diminati pengunjung, paling atraktif serta tersedia berbagai fasilitas umum. Museum ini telah menjadi narasumber untuk berbagai penelitian, koleksi dan pameran khususnya dalam bidang biologi, ilmu kebumian dan antropologi. Ke musium inilah siang itu kami berkunjung setelah berjalan cukup jauh dari lokasi parkir, menyusuri tepian jalur lapangan rumput yang cukup teduh.  

 

Di musium yang terdiri dari tiga lantai ini antara lain dapat dijumpai jejak kehidupan di bumi melalui berbagai temuan fosil tumbuhan dan hewan seperti mamalia, dinosaurus, reptil, serangga, burung, serta kehidupan laut purba, yang juga dilengkapi dengan laboratorium fosil. Budaya bangsa-bangsa di dunia juga dapat ditelusuri melalui eksibisi budaya Asia dan Afrika, budaya Barat, budaya asli bangsa Amerika serta Amerika Selatan. Termasuk eksibisi legenda ekspedisi Viking di Amerika Utara.

 

Peristiwa sejarah jaman es serta kehidupan awal di bumi, dan temuan-temuan geologi, batu permata serta mineral juga tersaji dengan lengkap dan sangat menarik. Diantaranya yang menarik adalah temuan mineral baru yang diberi nama smithsonite yang komposisinya berupa zinc carbonate. Penamaan ini sebagai penghargaan atas temuan James Smithson pada tahun 1802. Warna dari mineral ini tergantung pada kandungan unsurnya, akan berwarna merah jambu jika mengandung cobalt dan berwarna biru atau hijau jika mengandung tembaga. Ini menjadikan batu smithsonite tampak indah oleh tampilan warnanya.

 

Selain itu, yang juga banyak dikerubuti pengunjung adalah pameran batu-batu berlian yang diberi nama hope diamond dan ditempatkan di dalam bungkus ruang kaca (barangkali anti peluru, saya lupa menanyakan saking ikut larut dalam pesona kemilaunya).

 

Tidak terasa waktu bergulir semakin sore. Beberapa bagian dari museum ini hanya sempat saya lewati sambil lalu saja. Rasanya tidak akan cukup waktu mengelilingi musium ini hanya dalam satu dua jam, jika ingin mengetahui lebih dalam tentang berbagai hal menarik yang dipamerkan. Belum lagi harus dengan sabar menjawab pertanyaan anak-anak yang bahkan saya sendiri sering tidak tahu jawabannya. Tapi mungkin itulah salah satu gunanya musium, untuk mencari jawaban atas banyak pertanyaan.

 

***

 

Saya mengenal nama Musium Smithsonian sejak kira-kira 3 tahun yang lalu. Waktu itu saya mendapat tawaran untuk menjadi anggota Institut Smithsonian dan berlangganan majalah yang juga bernama sama. Tertarik dengan isi majalahnya, maka tawaran itu saya terima dan untuk itu saya membayar US$24 untuk satu tahun keanggotaan.

 

Waktu itu meskipun saya memegang Kartu Anggota, tetapi sedikitpun tidak pernah terlintas di pikiran saya untuk pada suatu saat akan berkesempatan mengunjungi kompleks musium dimana saya adalah satu dari sekian ribu anggotanya. Kini ada terselip rasa bangga, bahwa akhirnya saya sempat berkunjung ke kompleks musium yang berpusat di kota Washington DC ini. Meskipun tentu saja saya tidak memiliki cukup waktu untuk dapat mengunjungi semuanya yang ada di kompleks Institut Smithsonian ini.

 

Di Amerika, musium merupakan salah satu tempat tujuan wisata. Maka tidak heran kalau di brosur-brosur promosi pariwisata, tidak hanya wisata alam saja yang tampak menonjol dipromosikan melainkan juga termasuk wisata musium. Pengunjungnya pun tidak hanya dari kalangan tertentu (masyarakat sekolahan, misalnya), melainkan juga para orang-orang tua. Terlebih di musim liburan seperti saat liburan musim panas kali ini, musium adalah salah satu tempat yang ramai dikunjungi wisatawan.

 

Sangat berbeda sekali dengan apa yang saya jumpai di Indonesia. Sejak SD saya sudah mengenal bahwa di Jakarta ada musium di Gedung Gajah, tapi ya sekedar hafal namanya saja. Rasa-rasanya juga sangat sedikit warga Jakarta yang dapat bercerita banyak tentang musium ini, selain sebuah gedung yang di depannya ada patung gajahnya. Itu saja. Apalagi musium-musium di daerah yang belum dikenal. Masih lebih baik kalau pernah dikunjungi peserta study tour siswa sekolah.

 

Untuk sekedar mengambil contoh, di daerah Bintaran Wetan, Yogyakarta, ada Musium Jendral Sudirman. Kalau saya pulang ke Yogya, hampir setiap hari melewati tempat ini karena kebetulan tidak jauh dari rumah mertua. Herannya, setiap kali saya melewatinya seringkali saya lupa bahwa di situ ada musium.

 

Banyak mahasiswa yang kost di sekitar situ yang juga tidak tahu bahwa ada musium yang sangat bernilai kejuangan di sekitar tempat tinggalnya. Tidak jauh dari sana ada Musium Biologi. Musium yang ini malah nyaris tidak terlihat bentuknya.

 

Tahun 1978 ketika saya masih di bangku SMA di Kendal, saya pernah menerima kartu pass untuk masuk Musium Zoologi di Bogor, sebagai salah satu penghargaan menang lomba karya tulis. Ketika di tahun yang sama saya punya kesempatan untuk liburan ke Bogor, kesempatan untuk mengunjungi Musium Zoologi yang ada di kawasan Kebun Raya ini tidak saya sia-siakan. Ternyata banyak hal baru yang tidak saya ketahui sebelumnya ada di dalam sana. Sebenarnya cukup menarik untuk dikunjungi dan menambah wawasan. Tetapi kenapa tidak banyak yang tahu tentang musium ini? Saya pun baru tahu karena kebetulan punya kartu pass dan sempat mengunjunginya.

 

Saya jadi penasaran, dulu di lingkungan kampus Tambak Bayan UPN “Veteran” Yogyakarta pernah berdiri Musium Teknologi Mineral. Mudah-mudahan musium yang dibangun menempati bekas gedung perpustakaan serta pernah dibanggakan sebagai satu-satunya musium teknologi mineral itu kini masih ada yang ngurip-uripi (menghidup-hidupi) keberadaannya dan masih diminati pengunjung, minimal oleh mahasiswanya sendiri.

 

Terkadang saya heran pada diri sendiri. Terhadap musium di luar negeri yang waktu itu sama sekali tidak saya bayangkan seperti apa bentuk dan isinya, saya rela menjadi anggota dan membayar uang keanggotaan. Tetapi terhadap musium di negeri sendiri saya justru tidak mudah memperoleh informasi yang lengkap, akibatnya menjadi tidak tergerak untuk turut merasa terlibat atau memiliki.

 

Sepertinya ada sesuatu yang terputus. Musium (termasuk sarana dan medianya) yang memang tidak menarik, atau masyarakatnya (termasuk saya) yang memang tidak tertarik. Rasanya perlu ada jembatan yang menghubungkan kedua ujung yang masih terputus itu. Sebab ini adalah potensi ekonomi yang kalau di Amerika dapat mendatangkan pemasukan guna tujuan riset dan pengembangan ilmu pengetahuan.

 

Barangkali saja karena belum ada yang “sempat” memikirkan bagaimana mengemas benda-benda kuno agar juga bernilai rekreatif. Bagaimana mengenalkan kepada masyarakat bahwa ada tambahan ilmu yang bernilai tinggi di sana, ada sumber inspirasi yang membangkitkan semangat, atau setidak-tidaknya ada sesuatu yang enak dilihat, dinikmati, dikenang dan dibanggakan.

 

Dengan demikian akan menumbuhkan rasa ingin tahu masyarakat yang pada gilirannya akan tertarik untuk datang dan “membeli”. Atau, jangan-jangan malah jenis pekerjaan semacam ini sendiri yang memang tidak atraktif dan tidak bernilai ekonomis?- (Bersambung)

 

Yusuf Iskandar

 

 

 

Menyusuri pinggir utara The Mall

 

[Sebelumnya][Kembali][Berikutnya]